Siang ini hitam telah menyelimuti terang. Byurrrrrrrr...hujan pun meredam emosi yang memanas di tanah Borneo. Keangkuhan kaum tiran yang bersemayam di singgasana telah melumpuhkan semangat kaum ploretarian. Makna pemerataan dan berkeadilan yang diamanatkan UUD 1945 adalah teks belaka di tangan penguasa. Kenapa harus ada orang yang bernaung di atap mobil mewah dan membiarkan yang lain basah berpayung koran bekas. Mengapa ada orang yang berpakaian mewah dengan dasi di lehernya sementara seorang pengemis tua berpakaian compang-camping di titian kota. Apakah ini keindahan kota yang ditampilkan penguasa atau realita itu adalah lelucon belaka.
Lantas, dmn pemerataan dan keadilan yang didukung kaum reformasi dan demokrasi???seperti mimpi saja negara ini berganti baju atas penguasa diktator menjadi penguasa ploriter yang faham akan makna demokrasi. dan mana yang harus dipertahankan apakah kekuasaan diktator - otoriter, ploriter - demokrasi, ploriter - otoriter atau diktator - ploriter. Terlalu nampak keangkuhan penguasa-penguasa negeri ini mempertahankan ego masing-masing. Dia berkata "Aku adalah sosok ideal sebagai pemimpin untuk menjalankan roda pemerintahan dengan bernaung pada asas demokrasi" sementara yang lain menghujat "Akulah yang benar-benar pemimpin sejati yang mementingkan kepentingan rakyat, sementara perkataan Dia adalah bohong belaka" dan yang lain ikut bicara "Aku yang benar, mereka berdua adalah 'pecundang' yang mengatasnamakan keadilan, pemerataan, demokrasi untuk kepentingan rakyat, jalan dan langkah ku inilah sesungguhnya yang dinantikan bangsa ini"....achhhhhh semua basa-basi politik yang kadang kita terjebak untuk menelannya dalam.
Ironis nasib si anak bangsa kaum ploretarian yang menantikan bukti keindahan, bukan keangkuhan wahai bapak penguasa yang terhormat. Kedaulatan di tangan rakyat adalah hanya symbol pemilu saja, di lain pihak kedaulatan ada di tangan penguasa, begitu bijaknya negeri ini. Aku yang hidup di tanah Borneo lelah melihat tawa-canda penguasa di atas sana, dan miris menyaksikan rakyat di bawah berteriak dan beradu otot untuk kehidupan dan penghasilan yang layak.
Tanah kami kaya akan sumber daya alam seperti batu bara, tapi kami hanya menikmati debunya saja. Inilah potret kehidupan kami. Kami tidak pernah minta sanjungan, yang kami butuhkan adalah kelangsungan hidup yang berperi kemanusiaan. Kami rela nahkoda ada di tangan penguasa, tapi kami adalah penumpang yang membayar nahkoda untuk mencapai tujuan kami. Kami ingin diperlakukan selayaknya penumpang kapal yang berlayar di lautan dengan kelembutan dan kasih sayang diperlakukan oleh nahkoda dan awak kapal dalam perjalanan, itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar